Langkah Pemerintah Tangani Badan Usaha Penerima Izin Bermasalah Dipertanyakan
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam saat memimpin RDP dengan Kepala BPH Migas dan perusahaan niaga BBM dan Gas Bumi. Foto: Azka/rni
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) selain melakukan pengawasan sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, juga berperan melakukan penarikan iuran badan usaha. Oleh karena itu, setiap triwulan BPH Migas melakukan verifikasi atas pembayaran iuran kepada badan usaha. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Kepala BPH Migas dan perusahaan niaga BBM dan Gas Bumi terungkap, ada 41 badan usaha penerima izin yang tidak hadir saat verifikasi BPH Migas dan 25 badan usaha yang tidak melakukan pembayaran iuran. Komisi VII DPR RI mempertanyakan langkah yang diambil pemerintah dalam menyikapi persoalan itu.
“Kami harap dapat diberikan kajian yang komprehensif. Kami juga ingin mendapatkan penjelasan tentang progres izin-izin pipa transmisi gas bumi dan wilayah usaha gas bumi serta realisasi pekerjaannya sampai dengan tahun 2019, mengingat upaya untuk meningkatkan gas bumi di dalam negeri perlu ditingkatkan. Karena produksi gas bumi di dalam negeri terus meningkat dan ditemukannya beberapa ladang gas besar di wilayah Indonesia. Badan usaha mana saja yang sudah menjalankan atau mengerjakannya dengan baik dan mana yang masih bermasalah,” ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam saat memimpin RDP di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/3/2019).
Beberapa hal yang menjadi agenda pembahasan Komisi VII DPR RI dengan Kepala BPH Migas dan perusahaan niaga BBM dan Gas Bumi dalam RDP tersebut adalah mengenai pengawasan dan pengaturan distribusi BBM di luar SPBU, penyediaan premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) dan di luar Jamali, progres izin-izin pipa transmisi gas bumi dan wilayah usaha gas bumi sampai dengan tahun 2019.
“Seiring dengan perkembangan wilayah serta pertumbuhan penduduk dan industri, maka pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur, diantaranya pembangunan jaringan pipa gas nasional yang terintegrasi. Selain itu pemerintah berkewajiban menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak diseluruh wilayah NKRI,” ucap politisi Partai Golkar itu.
Ridwan mengatakan, sesuai UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP Nomor 67 Tahun 2002, badan pengatur penyediaan dan pendistribusian BBM dan kegiatan usaha pengangkutan gas bumi atau yang dikenal dengan BPH Migas, tugas dan fungsinya adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM kegiatan usaha pengangkutan gas bumi melalui pipa dalam suatu pengaturan agar ketersediaan dan distribusi BBM yang ditetapkan pemerintah dapat terjamin diseluruh wilayah NKRI, serta meningkatkan pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.
“Saat ini distribusi BBM di luar SPBU terus berkembang, baik yang sudah ada dasar legalitasnya maupun yang belum ada legalitasnya, seperti Pertamini dan semacamnya. Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan keselamatan dan keberlangsungan distribusi BBM, maka BPH Migas perlu mengambil langkah-langkah operasional dan antisipatif sesuai fungsi agar konsumen tidak dirugikan, dan hal-hal negatif lainnya,” tutur Ridwan.
Dikatakannya, keberadaan BBM jenis premium sebenarnya secara perlahan akan diperkecil alokasinya dan digantikan oleh Pertalite dan Pertamax, mengingat harga jual Premium lebih rendah dari biaya produksi dan distribusinya. Bahkan ada kebijakan Premium tidak lagi dijual di SPBU, rest area jalan tol, dan SPBU tertentu di Pulau Jawa. Akibatnya badan usaha yang ditugaskan, dalam hal ini Pertamina, harus bersubsidi dari kas internal perusahaan untuk menutupi biayanya.
“Faktanya, sebahagian masyarakat masih sangat membutuhkan (Premium). Karena selisih harga Pertalite dan Pertamax masih cukup signifikan. Setiap droping Premium datang di SPBU, maka dalam waktu singkat habis terjual. Hal ini terjadi di wilayah Jamali dan di luar Jamali. Oleh karenanya, kami ingin mengetahui bagaimana BPH Migas menyikapi hal ini, dan bagaimana pula kebijakannya ke depan,” tegas legislator dapil Jawa Timur itu.
Sementara itu, Kepala BPH Migas M Fanshurullah Asa menyampaikan, pada tahun 2018, jumlah badan usaha niaga BBM ada 133 perusahaan, dan jumlah perusahaan niaga gas bumi ada 20 perusahaan. Jumlah badan usaha ini menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu empat tahun dan berkorelasi terhadap peningkatan volume penjualan dan penerimaan iuran. Dan pada tahun 2018 jumlah penerimaan iuran dari kegiatan usaha niaga BBM dan gas bumi sebesar Rp 1,352 triliun.
“Terhadap 41 badan usaha yang tidak hadir verifikasi BPH Migas dan 25 perusahaan yang tidak melakukan pembayaran iuran, Menteri ESDM sudah menyetujui untuk dilakukan proses pencabutan izin terhadap perusahaan-perusahaan tersebut,” ucap Fanshurullah. (dep/sf)